Sabtu, 25 Desember 2010

Banjir, Otonomi Daerah dan Berkelanjutan Pembangunan


BANJIR, OTONOMI DAERAH DAN KEBERLANJUTAN PEMBANGUNAN

Jakarta banjir mungkin hal yang biasa tetapi Jakarta tenggelam adalah hal yang luar biasa. Sungguh aneh menyaksikan kota metropolitan yang terkepung air, dari udara tiba-tiba Jakarta terlihat seperti sebuah danau besar. Tidak hanya Jakarta, banjir juga melanda daerah lainnya di Indonesia. Kita menyaksikan banjir telah melumpuhkan kota Medan, Jambi, Situbondo, Pemalang dan sederet-deret kota-kota lainnya di bumi pertiwi. Setelah didera oleh krisis ekonomi yang berkepanjangan dan membuat kita hampir frustasi untuk mengatasinya.
Tuhan tampaknya sedang menguji kesabaran bangsa kita, intensitas hujan yang sangat tinggi dalam beberpa hari terakhir tidak lagi menjadi berkah tetapi menjadi bencana yang mungkin membebani perekonomian nasional. Petani-petani yang sudah siap memanen hasilnya terpaksa harus merelakan keuntungan yang sudah didepan mata, sementara ribuan petani harus kembali menyediakan dana untuk mengulang penanamannya.
Banjir sepertinya telah menjadi berita yang selalu hadir disetiap musim hujan, masyarakat perkotaan di wilayah-wilayah tertentu terutama yang tinggal berdekatan dengan bantaran sungai dan wilayahnya mempunyai ketinggian sejajar dengan laut akan selalu was-was setiap kali musim hujan tiba. Tidak hanya debit banjir makin besar tetapi durasi banjir yang setiap tahun bertambah panjang membuat mereka semakin gelisah dan tidak tenang bila musim hujan tiba. Banjir seolah-olah menjadi bagian dari budaya kehidupan masyarakat tertentu di musim hujan. Mengevakuasi kelompok masyarakat yang seperti ini ke tempat yang lebih aman dari banjir jauh lebih sulit dibanding kelompok masyarakat yang melihat banjir sebagai bencana yang sebenarnya. Refleksi dari potret yang demikian adalah munculnya sikap kekurang pedulian terhadap banjir berikut implikasi dan penyebabnya. Ini yang kita takutkan bila masyarakat sudah beranggapan musim hujan identik dengan musim banjir. Dari gejala-gejala yang kita rasakan dalam beberapa tahun terakhir ini tidak tertutup kemungkinan dalam beberapa tahun mendatang musim hujan benar-benar menjadi musim banjir.
Di luar angkasa, bumi bagaikan planet biru, air dan kehidupan adalah bagian yang tidak terpisahkan. Air berfungsi sebagai penyelamat karena memberi kesempatan hidup bagi makhluk. Namun ketika alam terganggu keseimbangannya, air yang biasanya memberi kesempatan hidup terutama di musim kemarau menjadi faktor yang membantu tertutupnya kesempatan hidup. Di beberapa daerah air yang semula dinilai bukan benda yang bernilai ekonomi. Perusahaan-perusahaan daerah air minum (PDAM) saat ini posisinya menjadi sangat vital bagi peningkatan Pendapatan Hasil Daerah (PAD). Air pun bagi pengusaha yang jeli bisa bernilai lebih tinggi dari harga bahan bakar minyak. Air ibarat seorang kekasih yang sewaktu-waktu dirindukan, dilain waktu menjadi ajang penyalur kebencian.
Penggundulan hutan di daerah atasan atas nama pembangunan dan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat yang tinggal di daerah tersebut tak pelak lagi merupakan penyebab utama yang menimbulkan terjadinya banjir di daerah hulu. Bagi warga Jakarta, banjir yang terjadi tidak hanya disebabkan debit hujan yang tinggi tetapi juga karena besarnya kiriman air dari wilayah Bogor dan sekitarnya. Makin menyempitnya daerah tangkapan air di daerah tersebut karena meluasnya pembangunan vila-vila milik warga Jakarta yang kelebihan uang membuat air hujan tidak terserap dengan baik dan mengalir begitu cepat ke arah Kota Jakarta. Sementara di Jakarta sendiri, ketentuan yang melarang warga untuk mendirikan pemukiman di 40 meter bantaran sungai tidak banyak diindahkan oleh warga sehingga makin membuat sempitnya ruang aliran sungai yang dapat menampung air. Akibatnya memang menjadi dahsyat, Jakarta ditenggelamkan oleh warganya sendiri. Kecenderungan warga kota untuk mengeksploitasi lingkungan karena keterbatasan ekonominya memberikan sumbangan yang tidak sedikit terhadap terjadinya banjir. Banjir sebenarnya dapat diinimalkan bila lahan-lahan tangkapan air tidak mengalami defungsionalisasi atau yang sering disebut sebagai degradasi lahan.
Di Indonesia degradasi lahan tidak hanya menimpa hutan biasa tetapi juga hutan lindung ynag sangat keras dilarang pemerintah untuk memanfaatkan dan hutan produksi. Erosi menyebabkan turunnya kapasitas dan umur waduk, sedimentasi di jaringan irigasi dan sungai-sungai serta meluasnya lahan kritis.
Untuk mengurangi terjadinya banjir proses degredasi lahan, yang setiap tahun terus mengalami peningkatan segnifikan, memang harus dikendalikan. Banyak menunjukan proses degredasi lahan di daerah atasan disebabkan karena ulah manusia yang tidak mempertimbangkan ekologi dalam proses eksploitasi lingkungannya. Yang menarik adalah struktur ekonomi pedesaan di daerah hulu sungai bagian hulu yang didominasi sektor pertanian dinilai sebagai salah satu penyebab signifikan dari proses degradasi tersebut. Lahan pertanian di daerah hulu telah dieksploitir melampaui daya dukungannya sehingga mengakibatkan aspek sustainabilitas dalam penggunaanya. Mereka umumnya merupakan dalam kelompok petani yang hidupnya pas-pasan. Sehingga sangat berat untuk meminimalisasi degradasi lahan tanpa memberikan jalan keluar bagi mereka untuk mengatasi problem ekonominya. Dari beberapa hasil penelitian, untuk mengurangi terjadinya degradasi lahan adalah dengan melakukan konservasi tanah, penghutanan kembali dan aktivitas mikroklimat lainnya yang tentunya akan sangat bertentangan dengan kepentingan masyarakat daera hulu.

Pembangunan berkelnjutan dan otonomi daerah.
             Kesadaran bahwa eksploitsi lingkungan yang berlebihan menjadi penyebab mundurnya kualitas lingkungan dan menimbulkan bencana bagi umat manusia sudah diantisipasi sejak lama. Pembangunan berkelanjutan mengaitkan pembangunan sebagai sesuatu yang berusaha untuk memenuhi kebutuhan pembangunan sebagai sesuatu yang berusaha untuk memenuhi kebutuhan hari ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Ini  memperhatikan pertumbuhan ekonomi, juga pemerataan dan faktor ekologi. Pembangunan tidak  bisa berlanjut apabila terlalu mengeksploitasi alam sehingga mengubah keseimbangan alam itu sendiri, termasuk makin besarnya potensi terjadinya banjir.
            Dalam mengatasi keserasian daerah hulu dan hilir, Pemerintah sendiri telah mengembangkan suatu konsep yang dinamakan Pengelolaan dan Pengembangan Daerah Aliran Sungai (DAS) Terpadu yang terbagi antara daerah hulu dan hilir dengan Satu Sungai Satu Perencanaan. Dalam konteks yang demikian maka terjadinya banjir di daerah hulu harus dilihat sebagai akibat kurang mampunya daerah hulu sungai melakukan fungsi sebagai daerah tangkapan (catchment area) yang kemudian mengalirkan air ke daerah hilir sungai. Karena presepsi yang berbeda antara Pemerintah Daerah hulu dengan hilir dalam menilai fungsi daerah hulu membuat kebijakan pembangunan di daerah hulu menjadi kontraproduktif terhadap keamanan di daerah hilir.  Dalam konteks ini, satu sungai satu manajemen, harusnya dijadikan konsep bersama Pemerintah Daerah hulu dan hilir. Artinya banjir yang menimpa warga di daerah hilir harus menjadi penderitaan yang sama warga di daerah hulu. Dengan demikian, banjir yang lebih hebat tidak akan terjadi lagi, semoga.